Santoso (36), pemilik kedai makan di Jalan Manggarai Utara I, Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, seperti tertimpa beban bertubi-tubi sejak Juli 2013. Setelah kenaikan harga BBM, beragam harga beragam kebutuhan ikut naik. Seperti warga pengguna elpiji lain, dia mendapat ”kado” pahit pada awal Tahun Naga: kenaikan harga.
Terhitung 1 Januari 2014, PT Pertamina (Persero) menaikkan harga elpiji kemasan 12 kilogram (kg). Besarannya Rp 47.508 per tabung di tingkat konsumen. Namun, kenaikan menunggu persetujuan pemerintah, tetapi di lapangan harga bergerak liar.
Warga pengguna elpiji, baik kemasan 12 kg maupun 3 kg, menyambut dengan waswas. Pedagang bingung menentukan solusi, apakah akan menaikkan harga jual atau mengurangi porsi apabila harga elpiji naik tinggi. Keduanya memberatkan konsumen.
Santoso menggunakan dua ukuran tabung sekaligus. Elpiji 3 kg untuk memasak makanan ringan dan 12 kg untuk menu utama, yakni ayam, bebek, dan lele. Semuanya dimasak dengan kompor elpiji.
Menurut Santoso, harga elpiji sebenarnya telah naik sejak 1,5 bulan lalu. Harga elpiji 3 kg yang sebelumnya Rp 15.000 kini jadi Rp 17.000. Tabung 12 kg, yang sebelumnya masih di bawah Rp 75.000, terakhir dia beli sebelum Tahun Baru Rp 90.000.
Supani (48), pedagang nasi rames di daerah Palmerah, Jakarta Barat, juga cemas. Sejumlah warga keberatan dengan kenaikan harga elpiji. Ruli (24), warga Kampung Baru, Sukabumi Selatan, Jakarta Barat, tidak habis pikir mengapa harga elpiji naik lagi. ”Sebelum Tahun Baru harga elpiji eceran sudah naik dari Rp 82.000-Rp 85.000 menjadi Rp 90.000 bahkan ada yang sampai Rp 95.000 per tabung. Masa, saat ini harganya mau naik lagi,” ujarnya.
Kenaikan harga elpiji kemasan tabung 12 kg memang masih menunggu persetujuan pemerintah. Namun, harga telanjur bergerak liar di lapangan. Elpiji kemasan 3 kg seolah tidak mau ketinggalan.
Zulfikar (30), pedagang mi ayam di Koja, Jakarta Utara, mengaku biasa membeli elpiji 3 kg di pengecer Rp 15.000 per tabung. Namun, Rabu (1/1) harganya naik jadi Rp 16.000 per tabung. Beberapa tetangganya bahkan membeli dengan harga Rp 18.000 per tabung.
Yulpani (47), warga Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, mengaku tidak terbebani dengan kenaikan Rp 2.000 per tabung. Namun, dia khawatir elpiji langka di pasaran. ”Dulu diminta beralih dari minyak tanah ke elpiji. Begitu pindah ke elpiji, harganya naik terus,” ujarnya.
Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan, kenaikan harga elpiji mulai dari ukuran 12 kg dan di atasnya akan berdampak buruk bagi masyarakat ataupun Pertamina.
”Dari fakta beberapa tahun ini, jika elpiji 12 kg naik, ada migrasi dari pemakai tabung 12 kg ke tabung 3 kg yang bersubsidi dan harganya jauh lebih murah. Kenaikan kali ini bisa memicu migrasi lebih besar lagi,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Komunikasi Korporat PT Pertamina Ali Mundakir mengatakan, Pertamina telah mengantisipasi perpindahan konsumen ke elpiji 3 kg dengan pemantauan penyaluran hingga level pangkalan.
Keputusan menaikkan harga elpiji 12 kg merupakan tindak lanjut atas rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan yang menyatakan Pertamina menanggung kerugian atas bisnis elpiji nonsubsidi Rp 7,73 triliun selama 2001 hingga Oktober 2012. Hal ini dianggap menimbulkan kerugian negara.
Bagi rakyat kecil, hitung-hitungan Pertamina itu jauh dari imaji tentang negeri yang kaya akan sumber daya alam, termasuk gas bumi. Mengapa mereka harus menanggung kerugian BUMN itu? (MKN/WER/NEL/EVY)
SUMBER: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/01/03/1139530/Mengapa.Rakyat.Ketempuhan.Beban.Itu.
Jum'at 03 Januari 2014
Kesimpulan :
Keputusan menaikkan harga elpiji menurut saya jangan di lakukan, karena banyaknya rakyat menengah kebawah yang akan keberatan karena menanggung ini semua. Beban hutang yang ada kenapa harus si konsumen yang menanggung? Bukankah seharusnya PT. Pertamina sudah tahu bagaimana tanggung jawab dia terhadap hutangnya sendiri. Lagipula Indonesia ini kaya akan sumber daya alam nya, seharusnya bisa bekerja sama memikirkan bagaimana Indonesia bisa mengolah kekayaan alamnya sendiri.
No comments:
Post a Comment